Bagaimana ketentuan Allah tentang kalah ataupun menang dalam perang?
Sebagaimana biasanya, bahwa suatu peperangan tentunya berakhir dengan kalah atau menang di suatu fihak, atau dengan perjanjian damai antara kedua fihak yang berlawanan, tentang itu Alah meneangkan pada ayat suci yang maksudnya sebagai berikut:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ۚ ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَ بَعْضَكُم بِبَعْضٍ ۗ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ ﴿٤﴾
47/4.:”Ketika kamu menemui orang-orang kafir, maka adakanlah kekuatan panjagaan, hingga ketika kamu menyerang mereka maka teguhkanlah pengaturan, hingga (perang itu berakhir) dengan apakah keutamakan (kemenangan) kemudiannya, ataukah perjanjian (tebus menebus), hingga perang itu meletakkan risikonya. Demikianlah, dan kalau Allah menghendaki, tentulah akan Dia balas pada mereka, akan tetapi agar DIA menguji setengah kamu pada setengahnya. Dan orang-orang yang terbunuh pada garis hukum Allah, tidaklah akan DIA sesatkan amal-amal mereka.”
Dari ketentuan ayat suci ini nyatalah bahwa sesuatu perang akan menimbulkan suatu fihak jadi kalah atau menang maka:
1. Yang kalah harus membayar upeti atau pampasan perang kepada fihak yang menang. Hal ini dinyatakan Allah pada ayat 8/1, 8/41, dan 9/28. Fihak yang tidak boleh memperkosa atau merampas milik yang kalah apalagi menjajah negeri mereka. Dalam Alquran tiada yang dinamakan dengan “harta rampasan perang, budak kalah perang.” Yang ada hanyalah “upeti” atau “pampasan perang".
Semisalnya yang menang perang itu adalah orang-orang yang beriman, mereka berhak menuntut upeti sebanyak yang mereka tentukan, atau fihak yang kalah bersedia masuk agama Islam tanpa kewajiban membayar upeti.
Sebagai contoh perhatikanlah riwayat Sulaiman yang hedak memerangi kerajaan Saba', tercantum pada ayat 27/30, 27/31 jo. 27/44. Waktu itu Sulaiman tidak mengambil dan tidak merusak apa sesudah kerajaan yang hendak diperanginya bersedia jadi orang-orang Islam.
Begitupula catatan yang diberikan Britanica Encyelopedia mengenai Khalifah Umar bin Khattab sewaktu menaklukan Jerrrusalem pada tahun 637 Masehi. Bahwa Umar mengusir seluruh kekuasaan Romawi dari daerah itu tetapi tidak merusak, sebaliknya mendirikan Masjid dari kayu yang kemudian diperbaiki oleh Khalifah Abdul Malik pada tahun 658 Masehi. Suatu yang diluar hukum dilaksanakan Umar bin Khattab waktu itu ialah mendaulati negeri orang-orang kafir tersebut bersifat jajahan hingga penduduknya terpaksa meninggalkan negeri asal mereka.
Sebagai sikap yang dilaksanakan waktu itu hendaklah memaksa orang-orang kafir membayar upeti menurut yang diperintahkan dan sewaktu mereka tidak mau melunasi, maka ada hak untuk memerangi mereka sekali lagi dan berulang-ulang, ataupun mereka bersedia masuk Islam tanpa membayar upeti. Jadi mereka tak perlu meninggalkan negeri asalnya, kecuali memilih antara membayar upeti atau masuk Islam.
Kekeliruan Umar bin Khattab demikian telah berakibat panjang hingga bangsa Arab kini menyangka daerah sekitar Jeruzalem sebagai tanah asal mereka, hingga keadaan itu menimbulkan perselisihan international selama berabad-abad.
2. Sekiranya perang itu berakhir dengan suatu perjanjian damai, maka Alqura memberikan ketentuan yang harus dilaksanakan orang-orang beriman tercantum pada ayat 8/61, 8/62, 9/4, 9/6, 9/12 dan beberapa ayat suci lainnya yang menerangkan hal-hal lebih memperinci. Orang-orang beriman harus sudi diajak berdamai untuk suatu perjanjian, dan dilarang merusak perjanjian yang telah diresmikan. Bahkan ayat 60/7 memberi peringatan agar orang-orang beriman selalu bersikap jujur dan adil terhadap fihak musuh yang denganya telah diresmikan perjanjian damai bahwa mungkin kemudiannya mereka akan tertarik pada Islam hingga mereka berpindah agama dan berakhir dengan jalinan pengharapan sebagai relasi yang lebih akrab.
3. Dalam catatan sejarah, jarang sekali orang-orang beriman yang kalah perang, apalagi kalau mereka benar-benar mematuhi hukum yang ditentukan Allah dalam Alquran, seperti pada ayat 4/65, 6/82, 20/123, 33/36 dan 3/139.
a. Tetapi kalau kebetulan kalah juga mungkin karena kekuatan tak sebanding ataupun karena kekeliruan sikap yang menimbulkan kelemahan pada orang-orang beriman, maka dalam hal demikian Allah menerangkan bahwa setiap orang beriman harus berangkat meninggalkan negerinya. Hal ini lebih baik daripada dijajah kaum kafir. Sementara itu mereka harus juga menyusun kekuatan untuk tindakan pembalasan untuk memerdckakan negerinya yang telah dikuasai musuh. Hal ini dinyatakan Allah pada ayat 2/218, 3/195, 4/100, 8/75, 9/20, 22/58, dan 59/9.
Tentunya mereka tak sampai berangkat sekaligus meninggalkan kampung halaman yang dikuasi musuh, apalagi diantara mereka ada orang-orang lemah, perempuan dan anak-anak maka orang-orang ini hendaklah mengikuti pengungsi yang lebih dulu telah pergi, yaitu setelah merasa kuat dan berkesempatan untuk mengungsi . Derajat orang-orang ini pada sisi Allah masih tinggi sebagai dikatakan ayat 16/41 dan 16/110.
Disamping itu orang-orang beriman di negeri lain haruslah menerima para pengungsi tersebut, dan membantu mereka sebagai saudara seagama dan seperjuangan. Orang-orang ini dinamakan dengan kaum Anshar dan untuk mereka dijanjikan Allah upah besar, dinyatakan pada ayat 8/74 dan 59/9.
b. Tetapi diantara orang-orang yang mengaku Islam itu ada pula yang sebenarnya jadi munafik. Mereka sengaja meninggalkan negeri yang dikuasai musuh hanya karena takut mati, dan mereka tidak hendak menuntut balas, 2/243, maka orang-orang ini berarti telah mati sampai pada waktu mereka melahirkan generasi yang baru dalam kehidupan terlunta-lunta.
Namun diantara orang-orang itu ada pula yang mau dijajah musuh, karena sudi dikuasai orang-orang kafir, bahkan sudi jadi kafir, sebab takut mati 4/97. Orang-orang itu diancam Allah dengan siksaan neraka, padahal Bumi ini sangat luas untuk kehidupan merdeka.